KUNINGAN, DjalapaksiNews – Polemik dugaan penggantian Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan uang tunai di Kabupaten Kuningan kian menyeruak dan menimbulkan tanda tanya besar atas integritas pelaksanaannya. Berdasarkan temuan di lapangan, sejumlah orang tua siswa di Kecamatan Lebakwangi mengungkapkan bahwa pada peluncuran MBG, Senin (29/9/2025), terdapat kekurangan paket makanan yang disuplai oleh pihak dapur penyedia Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Akibatnya, sekitar 70 paket makanan diganti dengan uang tunai sebesar Rp8.000 per anak.
“Anak saya termasuk yang tidak dapat paket waktu itu. Katanya paketnya kurang, jadi diganti uang delapan ribu,” ungkap salah satu wali murid kepada KuninganSatu.com yang enggan disebutkan namanya. Beberapa orang tua lain juga membenarkan bahwa mereka menerima pemberitahuan langsung dari pihak sekolah mengenai penggantian tersebut, dengan alasan jumlah makanan yang dikirim tidak sesuai dengan jumlah penerima manfaat.
Ketua Satgas MBG Kabupaten Kuningan, Dr. Wahyu Hidayah, M.Si, menegaskan bahwa program MBG tidak boleh diganti dalam bentuk uang tunai. “Program MBG merupakan intervensi pemerintah dalam pemenuhan gizi masyarakat. Sesuai ketentuan yang berlaku, bantuan disalurkan dalam bentuk pangan bergizi siap konsumsi, bukan uang,” tegasnya, Selasa (7/10/2025). Wahyu memastikan pihaknya akan melakukan verifikasi dan evaluasi lapangan untuk menelusuri kebenaran laporan tersebut. Menurutnya, program MBG bukan sekadar bantuan sosial, tetapi instrumen negara dalam peningkatan gizi anak-anak penerima manfaat. Karena itu, seluruh pelaksana program, baik sekolah maupun dapur penyedia, diingatkan agar tidak mengambil keputusan sepihak yang bertentangan dengan aturan.
Sementara itu, Koordinator Wilayah Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Kabupaten Kuningan, Nisa Rahmi, menjelaskan bahwa distribusi pada minggu pertama memang dilakukan secara bertahap untuk memastikan kesiapan dapur dan kapasitas produksi. “Untuk minggu pertama itu bertahap, mulai dari 500–1000 penerima manfaat dulu. Di minggu berikutnya baru meningkat sesuai kemampuan dapur,” ujarnya. Nisa juga mengakui adanya kendala internal karena salah satu petugas pemantau dapur sakit sejak awal pelaksanaan. Namun, ia menegaskan tidak ada instruksi resmi untuk mengganti makanan dengan uang. “Saya sudah konfirmasi ke kepala SPPG, semuanya bilang tidak ada yang menyalurkan uang. Semua tetap masakan sesuai permintaan sekolah,” jelasnya.
Kendati demikian, dugaan penggantian uang tunai dalam program MBG tetap memicu kekhawatiran publik. Berdasarkan petunjuk teknis pemerintah pusat, MBG wajib disalurkan dalam bentuk makanan siap saji yang memenuhi standar gizi dan keamanan pangan. Jika benar terjadi penggantian uang, hal itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif bahkan berpotensi menjadi temuan hukum, karena menyimpang dari ketentuan intervensi gizi.
Kasus ini memperlihatkan bahwa di balik niat baik program bergizi gratis, masih terdapat celah lemahnya pengawasan dan potensi penyimpangan di tingkat pelaksana. Pemerintah daerah kini dituntut tidak sekadar membantah isu, tetapi menelusuri secara transparan siapa yang bertanggung jawab atas “transaksi” di balik program yang seharusnya menjadi simbol kepedulian negara terhadap kesehatan generasi muda.
(A. Sulis)