KUNINGAN, Djalapaksinews – Persoalan sengketa lahan di kawasan Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, kembali menjadi sorotan. Praktisi hukum Abdul Latif Usman, S.H., menegaskan bahwa dugaan penyerobotan tanah milik warga oleh Pemerintah Daerah Kuningan merupakan pelanggaran serius yang dapat dijerat pidana.
Dalam kajian hukumnya, Abdul Latif menjelaskan bahwa pendaftaran tanah bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sertifikat tanah memang menjadi tanda bukti hak yang sah, namun dalam praktiknya, tanah bersertifikat pun tidak serta merta bebas dari sengketa maupun upaya penyerobotan.
Ia menyoroti bahwa tindakan menduduki atau menggunakan tanah tanpa izin pemilik sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960 yang melarang penggunaan tanah tanpa izin pemilik, dengan ancaman kurungan maksimal 3 bulan atau denda. Selain itu, Pasal 385 KUHP mengancam hukuman penjara hingga 4 tahun, sedangkan Pasal 502 UU Nomor 1 Tahun 2023 mempertegas ancaman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda kategori V bagi pelaku.
Menurut Abdul Latif, langkah hukum yang dapat ditempuh jika terjadi penyerobotan adalah melapor ke kepolisian serta mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam konteks kasus di Palutungan, ia menilai dugaan penyerobotan tanah bersertifikat milik Irene Lee oleh Pemda Kuningan merupakan bentuk pelanggaran pidana sekaligus mencederai prinsip keadilan.
“Pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan hukum, bukan justru diduga melakukan pelanggaran. Bagaimana rakyat bisa taat hukum jika aparatnya sendiri melanggar?” tegasnya.
Ia menyebut, peristiwa ini mencerminkan lemahnya moral aparatur pemerintah, sehingga masyarakat didorong untuk bersuara lantang menolak segala bentuk kesewenang-wenangan yang berwatak penjajahan.
(A. Sulis)