KUNINGAN, DjalapaksiNews – Dalam konteks politik daerah, jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) bukan sekadar posisi birokrasi biasa. Posisi ini memiliki peran strategis dalam koordinasi, pengambilan keputusan, dan kesinambungan pemerintahan. Namun, kenyataannya, jabatan ini sering menjadi arena tarik-menarik antara kepentingan profesionalisme dan pengaruh partai penguasa.
Partai politik yang menguasai pemerintahan daerah kerap memandang Sekda sebagai instrumen untuk memperkuat posisi politik mereka. Loyalitas terhadap partai atau kepala daerah sering dijadikan kriteria terselubung dalam pengangkatan Sekda, meskipun regulasi menekankan netralitas dan merit system. Situasi ini menimbulkan dilema struktural bagi birokrasi yang tetap profesional atau menyesuaikan diri dengan kepentingan politik.
Fenomena ini tidak hanya menciptakan kontradiksi dalam birokrasi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas pelayanan publik. Ketika Sekda dipengaruhi partai politik, keputusan strategis dan pengelolaan anggaran bisa cenderung berpihak pada kepentingan politik alih-alih kebutuhan masyarakat.
Narasi ini penting untuk membuka perspektif kritis dimana posisi Sekda yang seharusnya netral menjadi arena pertarungan kepentingan partai penguasa. Publik, birokrat, dan penegak hukum harus memahami akar masalah agar profesionalisme birokrasi tidak tergerus.
Akhirnya, konflik antara politik dan profesionalisme ini bukan masalah personal semata, tetapi fenomena sistemik yang mencerminkan cara partai penguasa memanfaatkan jabatan strategis dalam birokrasi.
Sejarah dan Fungsi Jabatan Sekda
Jabatan Sekda muncul sebagai posisi profesional yang menjembatani kepala daerah dan seluruh birokrasi. Fungsi formalnya meliputi koordinasi antar-SKPD, penyusunan kebijakan, dan memastikan kontinuitas administrasi saat pergantian kepala daerah.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa politik lokal sering menempatkan Sekda sebagai alat untuk menjaga kekuasaan partai penguasa. Loyalitas politik cenderung lebih diperhitungkan daripada integritas dan kompetensi, bertentangan dengan prinsip netralitas yang diatur UU ASN No. 5/2014.
Kontradiksi ini terlihat jelas ketika Sekda yang profesional tetapi tidak politis kalah bersaing dengan kandidat yang dekat dengan partai penguasa. Fenomena ini menunjukkan akar masalah bersifat sistemik, bukan sekadar personal.
Di sisi lain, loyalitas politik dianggap sah untuk memastikan stabilitas pemerintahan, tetapi hal ini menimbulkan risiko penyalahgunaan jabatan dan pengelolaan anggaran yang bias.
Dengan memahami sejarah dan fungsi Sekda, terlihat jelas bahwa posisi ini menjadi titik pertemuan antara birokrasi profesional dan kepentingan politik partai penguasa.
Open Bidding dan Tantangan Merit System
Open bidding atau seleksi terbuka, yang diatur dalam PP 17/2020 dan Permendagri 100/2018, seharusnya memastikan pengisian jabatan Sekda berbasis kompetensi, integritas, dan kapasitas teknis.
Namun praktiknya, kandidat yang dekat dengan partai penguasa lebih diunggulkan meski kemampuan teknisnya lebih rendah. Hal ini menimbulkan kontradiksi antara regulasi dan realitas politik.
Di satu sisi, politik dianggap sah untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Di sisi lain, praktik ini bertentangan dengan prinsip hukum dan etika profesional, menimbulkan dilema antara legalitas prosedural dan integritas birokrasi.
Kontradiksi ini terlihat ketika Sekda yang profesional kalah dengan kandidat politis. Publik melihat prosedur formal, namun kenyataan lapangan menunjukkan bias politik partai penguasa.
Oleh karena itu, open bidding bukan sekadar soal mekanisme seleksi, tetapi benturan antara merit system, praktik politik, dan tekanan partai penguasa.
Budaya Birokrasi dan Loyalitas Politik
Budaya birokrasi daerah memperkuat tekanan partai penguasa. Loyalitas politik sering lebih dihargai daripada kompetensi. Pegawai yang independen bisa mengalami marginalisasi, meski mereka memenuhi kriteria profesional.
Sekda yang dekat partai penguasa cenderung menekan bawahan agar sejalan dengan agenda politik tertentu. Hal ini mengurangi independensi pengambilan keputusan, menghambat inovasi, dan menurunkan kualitas pelayanan publik.
Kontradiksi muncul ketika loyalitas politik dianggap menjaga stabilitas, sementara prinsip merit system diabaikan. Konflik internal dan lambatnya pengambilan keputusan adalah konsekuensi nyata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa akar masalah birokrasi bukan hanya perilaku individu, tetapi sistem politik yang menempatkan Sekda sebagai instrumen partai penguasa.
Reformasi birokrasi melalui pendidikan, kode etik, dan insentif profesionalisme menjadi langkah penting agar loyalitas politik tidak merusak fungsi Sekda.
Regulasi vs Realitas Politik
Regulasi yang menegaskan netralitas Sekda yaitu UU ASN, PP 17/2020, dan Permendagri 100/2018 menekankan pengisian jabatan strategis berbasis merit.
Namun realitas politik menunjukkan dominasi partai penguasa dalam penunjukan Sekda. Open bidding formal sering dimanipulasi, sehingga regulasi sulit diterapkan secara penuh.
Sekda yang politis menekan bawahan, sedangkan Sekda profesional menghadapi risiko marginalisasi. Ini menunjukkan ketegangan antara hukum dan praktik politik partai penguasa.
Lemahnya pengawasan publik memperkuat dominasi politik dalam seleksi. Regulasi tanpa pengawasan independen hanya menjadi formalitas.
Solusi jangka panjang yakni penguatan hukum, mekanisme transparansi, dan pengawasan eksternal agar regulasi berjalan efektif.
Dampak pada Publik dan Harapan Reformasi
Politik partai penguasa di jabatan Sekda berdampak langsung pada pelayanan publik. Anggaran dan proyek pembangunan bisa bias politik, bukan kebutuhan masyarakat, sehingga kepercayaan publik menurun.
Publik menuntut Sekda profesional dan netral, tetapi tekanan politik partai penguasa menciptakan ketegangan antara harapan publik dan realitas birokrasi.
Reformasi birokrasi memerlukan pendidikan calon Sekda, penguatan kode etik, dan pengawasan eksternal agar kontradiksi antara profesionalisme dan politik diminimalisasi.
Transparansi proses seleksi, publikasi kriteria, dan evaluasi independen menjadi kunci agar merit system berjalan sesuai regulasi dan ekspektasi masyarakat.
Akhirnya, Sekda harus menjadi simbol integritas dan profesionalisme, bukan alat partai penguasa. Hanya dengan menyeimbangkan regulasi, budaya birokrasi, dan pengawasan publik, birokrasi daerah dapat melayani rakyat dengan adil dan efektif.
(Red)
