Putusan MK Dinilai Langgar Demokrasi: DEEP Kuningan Tegas Tolak Perpanjangan Jabatan DPR Tanpa Pemilu

KUNINGAN, DjalapaksiNews – Di tengah upaya menjaga integritas demokrasi di tahun politik, satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) justru memantik kekhawatiran publik. Putusan yang membuka ruang perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan DPD tanpa pemilu dalam kondisi tertentu dinilai sebagai kemunduran besar dalam kehidupan berdemokrasi.

Oon Mujahidin, Koordinator Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kuningan, tak menutupi kegelisahannya. Ia menyebut putusan tersebut sebagai bentuk “perampasan hak rakyat secara legal”.

“Putusan ini bukan sekadar tafsir hukum. Ini adalah lonceng bahaya. Demokrasi sedang dikerangkeng oleh elite atas nama stabilitas,” tegas Oon yang akrab disapa Om Pecoy.

Menurutnya, jika jabatan bisa diperpanjang tanpa mandat rakyat melalui pemilu, maka negara sedang membuka jalan lebar menuju demokrasi prosedural yang hampa makna.

“Apa gunanya pemilu lima tahunan kalau akhirnya kekuasaan bisa diperpanjang tanpa partisipasi publik? Ini bukan reformasi, ini regresi,” kecamnya.

DEEP melihat potensi penyalahgunaan kekuasaan kian terbuka. Putusan ini dinilai bisa menjadi pintu masuk praktik otoritarianisme baru, dengan tameng legalitas konstitusional.

“Kalau MK melegalkan perpanjangan jabatan legislatif, lalu bagaimana dengan kepala daerah? Apakah semua akan ditunjuk dan diperpanjang? Lalu rakyat dapat apa?” tanya Oon retoris.

Lebih jauh, DEEP menyoroti efek sistemik dari pemisahan pemilu nasional dan pilkada seperti yang turut diatur dalam putusan MK. Jeda dua tahun antara Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan yang bisa diisi oleh aktor non-terpilih.

“Inilah celah yang paling berbahaya. Ketika kekuasaan tidak lagi berasal dari suara rakyat, melainkan dari penunjukan elit, maka krisis legitimasi tak terhindarkan,” ujarnya.

DEEP menegaskan, jika putusan MK ini tidak dibarengi dengan reformasi politik menyeluruh termasuk tata kelola partai, pendanaan politik, dan pendidikan pemilih maka pemilu yang dipisah-pisah hanya akan memperbesar ruang transaksi kekuasaan.

“Demokrasi yang sehat lahir dari keikutsertaan rakyat, bukan dari ruang sidang lembaga tinggi yang mengabaikan suara publik. Kita tidak butuh stabilitas semu yang menyingkirkan partisipasi,” tutupnya. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *